The Quirky Medanese

Diambil dari Aplaus Magazine, Edisi Agustus, 2015. Credit to Lumut Communications.
Diambil dari Aplaus Magazine, Edisi Juli, 2015. Credit to Lumut Communications.

“Our stereotypes are odd, but surprisingly cool. Do you agree?”

Orang bilang, cara paling unik (baca: ironis) untuk menyadari kebiasaan-kebiasaan aneh diri sendiri adalah ketika kita melihat sendiri betapa orang lain melakukan hal aneh sepersis yang kita praktikkan selama ini. Dan, Anda tahu, untuk urusan begini, tak bisa dipungkiri kalau orang Medan adalah salah satu “jawara”-nya.

Banyak kebiasaan-kebiasaan “ajaib” yang kemudian berkembang menjadi stereotipenya orang Medan. Ada yang fakta, tapi tidak sedikit pula yang bercampur fiktif (dilebih-lebihkan).

Nah, dalam rangka Hari Jadi Kota Medan ini, mengapa tidak dirayakan dengan mencermati aneka kenyataan yang sulit dipungkiri ini.

  1. Loud with a capital L

Jika Anda masih ingat jargon produk rokok “Nggak ada Lo, Nggak Rame”, nah yang dimaksud dengan “Lo” itu kemungkinan besar adalah orang Medan. Apa pasal? Bukannya terlampau narsis, hanya saja orang Medan ini memang sudah dari sono-nya jago ngeramein suasana. Dari segi suara saja, sudah kelihatan. We sound the same, angry or happy.

Terkadang, orang asing, eh dari provinsi lain, sudah duluan “takut” sebelum mengenal kita lebih dekat. Istilahnya, “halo”-nya orang Medan itu penuh energi! Sehingga, yang harusnya lawan bicara itu turut bersemangat, malah kaget atau sekalian keder. Sebaliknya, jangan pernah mengajak orang Medan ngomong dengan suara halus. Bakal kena libas, “Hah? Apa katamu? Kecil kali suara kau. Belum makan kau?”

  1. Raja jalanan

Orang Medan yang paling kalem sekalipun, kalau sudah menginjak pedal mobil atau kereta (artinya sepeda motor; jangan berlagak tidak tahu), perangainya jadi berbeda. Dan, ya, begitu menjajali aspal, semuanya naik tahta menjadi raja jalanan! Hukumnya pun cuma satu: yang penting cepat tiba, apapun caranya! Tidak heran, ada peribahasa plesetan dari Kota Big Apple: If you can drive in Medan, you can drive anywhere else.

Dan, satu lagi, bagi yang naik bus No. 11 (jalan kaki—red), Anda diwanti–wanti lebih sigap ketika menyeberangi jalan, baik di atas zebra cross ataupun whatever cross. Jangan pernah Anda merasa sedang menyeberang di Singapura sambil bertat-tit-tut ponsel. Anda kudu jaywalking: nyebrang dengan kepala menengok kiri-kanan sambil mengacungkan tangan sekaligus tahu kapan mempercepat langkah.

  1. No please, please

Orang Medan tidak (mau disebut) malas, tapi sangat persuasif dalam meminta bantuan, semisal dalam mengambilkan barang. Cak kau ambilkan itu dulu, nanti kau letakkan di atas situ. Udah itu, nanti kau tutupkan itu,” ucap seorang ibu kepada anaknya sambil menunjuk-nunjuk dengan lugas, “Itu…yang di situ,” tegas ibu ini jika anaknya masih kebingungan. Ya, kita bahkan enggan secara spesifik dalam menyebutkan item yang dimaksud. Sudah ditanya pun, belum tentu dijawab secara tepat. Namun, ajaibnya, tetap saja perintah, eh, permintaan ini bisa dimengerti. What kind of magic is it…?

  1. Snobby foodies

Kalau Anda ingin berteman dengan orang Medan, jangan pernah mengkritik, apalagi merendahkan makanan Medan. Jadi kalau ada makanan dari kota lain yang diversuskan dengan Medan, percayalah bahwa orang Medan akan tetap membela makanan kampung halamannya sebagai yang lebih enak.

Faktanya, orang Medan akan selalu menganggap “Medan Cuisine” adalah yang terenak. Dan, bahkan kalau ada menu khas Medan yang disantap di kota lain, tetap saja makan di Medan akan terasa lebih nikmat. Demikianlah bermula alkisah Medan sebagai surga kuliner.

  1. ET. language

Diksi orang Medan itu sangat istimewa. Cuma di Medan saja frasa seperti buka lampu, naik kereta, goni botot terdengar masuk akal. Belum lagi kata seperti alamak, sor, pipet, bonbon, tungkik, selop, ecek-ecek, hajap, aci, dsb. Hayo, mari main kuis bagi para pembaca orang Medan: Dari kata-kata tadi, berapa yang Anda mengerti? Kalau semua, ponten 100! Bahasa Medan dipercaya banyak menggunakan kata serapan dari dialek Hokkien atau Batak, sehingga kadang–kadang perlu seorang “penerjemah” untuk mengerti maksud dari sebuah percakapan, or you are gonna be lost in translation…

  1. Freebies lovers

Pernah suatu ketika saya ngopi cantik di sebuah restoran baru di salah satu gedung bisnis elit di Medan. Seketika secangkir kopi tersaji, mata saya langsung memerhatikan sendok kopi yang dipakai ternyata berlogokan Garuda Airlines! Really? Saya (dan Anda) percaya tidaklah mungkin maskapai kebanggaan Indonesia ini nge-branding di sini. Saya lebih percaya kebiasaan orang Medan yang disebut cheapskate. Kalau tinggal di hotel, semua peralatan mandi diborong. Ke kondangan, ada saja yang membawa pulang bontot (bekal) makanan sisa. Kalau dipikir-pikir, tampaknya orang Medan adalah “kaum” yang sangat mahir menimbun barang dan akan sangat siap menghadapi “apocalypse” nantinya.

  1. Your time is not my time

Format dimensi waktu di Medan dengan tempat-tempat lain sungguh berbeda. Di Medan, datang tepat waktu dianggap terlalu cepat. Sementara, terlambat 30 menit itu adalah normal. Anda akan dianggap sebagai manusia paling menyebalkan jika datang tepat waktu, apalagi bila empunya acara belum tiba. Akan tetapi, jika Anda sudah sangat telat sekali (bahkan untuk standar Medan), just say these magic words, “Oh iya, saya sudah jalan dari rumah kok. Lima menit lagi sampai di sana.” Kemudian tentu saja segera Anda pijak gas mobil dalam-dalam.

  1. Bargaining virtuoso

Orang Medan itu jagonya tawar-menawar. Prinsipnya anti-rugi (padahal yang dagang kan penjual). Lagipula, ada kenikmatan tersendiri jika berhasil mendapat item bagus dengan harga yang lebih murah. Selain bisa hemat, keberhasilan ini bisa dipamerkan ke kawan-kawan. Mana tahu Anda jalan-jalan ke luar negeri, bisa Anda kenali orang Medan dengan trik menawar, mulai dari merayu, bersikap jual mahal, hingga menggertak penjualnya. Adapun trik yang sering dipakai (dan ngeselin penjual) adalah menanyakan harga barang secara jamak, kemudian hanya membeli satu atau dua item saja. “Sori bang, satu saja…” ucapnya tanpa rasa bersalah.

  1. In chilies we trust

Badge of honor dari seorang Medanese adalah kemampuannya melahap makanan penuh cabai tanpa harus ke toilet ataupun meminum bergelas–gelas teh manis dingin. Cabai merah kering, sambal ulek, belacan, cabe rawit, you name it, niscaya tidak ada cabai di bawah kolong langit yang sanggup menggentarkan nyali orang Medan. Sebaliknya, jangan pernah sekali-kali memberikan cabai yang tidak pedas, justru orang Medan bakal emosi.

Saking kentalnya budaya chili-lover ini, sampai-sampai orang Medan selalu berusaha mencari 1.001 cara menyelundupkan “ramuan” ke luar negeri, entah waktu sedang berlibur panjang atau demi anaknya yang sedang kuliah. Bukan ingin diekspor sih, kelebihan orang Medan sekaligus menjadi kelemahannya. Lidah orang Medan jadi kurang bergairah jika tidak kena cabai yang nendang. Nah, lho!

  1. The shortest way to Rome is…

Bagi orang Medan, kerjaan sesulit apapun itu gampang! Selalu terucaplah taklimat “Gampang itu! Bisa diatur itu!” Meskipun, sebenarnya, di dalam hati orang yang ngomong sudah kempot-kempot khawatir.

Tapi, mungkin ini yang disebut positive thinking. Tanpa perlu diajari bule, dari dulu orang Medan sudah berpikir positif. Yang penting, ngomong “bisa” di depan. Bagaimana bagaimananya (ungkapan khas Medan) bisa dicari tahu nanti. Hebatnya lagi, mengutip kata Bill Gates mengapa dia menyukai orang malas, orang Medan ini tergolong kreatif karena akan selalu berusaha mencari jalan tersingkat (belum tentu yang terakurat) untuk menyelesaikan masalah apapun. Dan, kalau masalahnya kelar, akan keluar ungkapan sakti orang Medan, “Apa kubilang ‘kan? Gampangnya itu…”

Untuk Aplaus Magazine, Edisi Juli, 2015.

4 thoughts on “The Quirky Medanese

Leave a reply to Susan Suhargo Cancel reply